Old school Swatch Watches
NCHIM SITE


Untuk menggunakan fasilitas GPRS
dan MMS di handphone kita, kita
perlu mengatur setting GPRS/MMS
sesuai dengan setting yang
disyaratkan oleh masing-masing
operator seluler. Pengaturan
tersebut cukup rumit dan
membingungkan untuk pengguna
handphone. Oleh karena itu, setiap
operator seluler menyediakan
layanan pengaturan GPRS/MMS
secara langsung dengan hanya
mengirimkan SMS dengan perintah
tertentu.
Berikut ini ringkasan Setting OTA
untuk masing-masing operator
selular di Indonesia:
Simpati dan AS (Telkomsel)
Ketik: S[spasi] merek HP[spasi] tipe
ponsel
Kirim ke 5432
Khusus untuk pengguna Telkomsel
(Simpati dan As), kita perlu
mengaktifkan terlebih dahulu
fasilitas MMS & GPRS dengan cara:
Ketik: GPRS [spasi] 16 digit kode
yang ada dibelakang kartu
Kirim ke 6616
Mentari
Ketik: GPRS[spasi] merek HP[spasi]
tipe ponsel
Ketik: MMS[spasi] merek HP[spasi]
tipe ponsel
Kirim ke 3000
IM3
Ketik: GPRS[spasi] merek HP[spasi]
tipe ponsel
Ketik: MMS[spasi] merek HP[spasi]
tipe ponsel
Kirim ke 3939
XL
Ketik: GPRS[spasi] merek HP[spasi]
tipe ponsel
Ketik: MMS[spasi] merek HP[spasi]
tipe ponsel
Kirim ke 9667
Axis
Ketik: WAP[spasi] merek HP[spasi]
tipe ponsel
Ketik: MMS[spasi] merek HP[spasi]
tipe ponsel
Kirim ke 2288
Three
Pengaturan GPRS/MMS OTA
dilakukan secara otomatis.
Meskipun pengaturan otomatis ini
tidak bisa digunakan untuk semua
jenis dan tipe handphone akan
tetapi sebagian besar merek dan
tipe handphone dengan merek
yang terkenal sudah tercakup
dalam database pengaturan
otomatis ini. Jadi jika kita merasa
kesulitan untuk melakukan
pengaturan ini, tidak ada salahnya
kita coba. Semoga berguna.

¤ Ringkasan Fikih Ramadhan(1)

Senin,08 Agustus 2011 14:49 Syaikh Hamid Al-'Athor

Ini adalah ringkasan hukum-hukum
fikih puasa yang disajikan secara
prtaktis untuk memudahkan umat
Islam mempelajarinya. Di
dalamnya dibahas berbagai
masalah yang sering dihadapi
manusia pada kehidupannya.
Apabila ada masalah-masalah
yang masih diperselisihkan oleh
para ulama, kami akan
menjelaskannya. Kami akan
sajikan pula kesepakatan para
ulama seputar ibadah puasa di
bulan Ramadhan.
Dalam masalah tarjih, kami
bersandar pada hasil tarjih yang
dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan muridnya, Ibnul
Qayym. Keduanya pakar dalam
mendiskusikan dalil-dalil yang
sesuai dengan maqasyid syari'at
(tujuan ditetapkannya syari'at)
secara umum dan falsafah
perundang-undangan, terlebih
ketika mentarjih hadits yang tidak
shahih.
Fikih Puasa
Pengertian
Secara bahasa adalah menahan.
Adapun secara syar'i adalah
menahan syahwat perut dan
kemaluan dari mulai terbitnya fajar
sampai tenggelam dengan niat
untuk mendekatkan diri kepada
Allah Tabaraka wa Ta'ala.
Kedudukan Puasa Ramadhan
Ia merupakan bagian dari rukun
Islam, ia juga merupaka kewajiban
mutlak yang diriwayatkan secara
mutawatir dan sudah maklum
dalam agama Islam. Karenanya,
para ulama sepakat menghukumi
kafir dan murtad orang yang
mengingkari akan kewajiban puasa
Ramadhan, meragukannya atau
meremehkannya. Kecuali bila
adanya udzur disebabkan bodoh
karena baru masuk Islam.
Waktu Diwajibkannya
Puasa Ramadhan diwajibkan pada
tahun kedua Hijriyah, karenanya
ketika Nabi saw. meninggal beliau
telah sembilan kali berpuasa
Ramadhan.
Penetapan Bulan Ramadhan
Awal bulan Ramadhan ditetapkan
dengan melihat hilal (bulan).
Sarana Untuk Melihat Hilal
Pertama: Rukyatul hilal (melihat
bulan). Para ulama telah berselisih
pendapat, di antara mereka ada
yang cukup dengan satu rukyat
saja, ada yang mensyaratkan
minimal dua, dan ada yang
mesyaratkan semua harus
melihatnya bila kondisi cuaca
cerah.
Kedua: Menyempurnakan bulan
Sya'ban menjadi 30 hari.
Karenanya, umat Islam melakukan
rukyat pada malam tiga puluh, bila
mereka tidak melihatnya maka
mereka harus menyempurnakan
bulan Sya'ban. Akan tetapi, bila
telah melihat bulan, maka itu
sudah cukup.
Ketiga: Hisab. Telah banyak
lembaga fikih yang membahas hal
ini dan banyak di antaranya yang
menghimbau untuk tidak
menggunakannya. Lembaga-
lembaga fikih banyak yang
mengharuskan penentuan awal
Ramadhan dengan rukyat
menggunakan mata telanjang,
tidak dengan menggunakan hisab
(hitungan) ilmu falak. Kecuali
lembaga-lembaga fikih nasional
milik pemerintah, biasanya mereka
membolehkan menggunakan hisab
ilmu falak dan teropong-teropong,
hanya saja tetap bersandar pada
penglihatan bulan dengan mata
telanjang.
Tidak Dapat Melihat Bulan Hingga
Pagi
Apabila ada kejelasan akan
masuknya bulan Ramadhan di
pertengahan hari, maka
hendaknya umat Islam ketika itu
juga meniatkan untuk berpuasa.
Dalam hal ini, jumhur ulama
berpendapat akan wajibnya
mengqodho' (mengganti) puasa
hari tersebut. Adapun Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berpendapat
bahwa tidak wajib untuk
menggantinya, dan ini adalah
pendapat yang benar.
Apabila hilal dapat dilihat di suatu
negara dan tidak terlihat di negara
lain, para ulama pun berbeda
pendapat dalam hal ini: Apakah
negara yang tidak melihat hilal
harus mengikuti negara yang
melihat hilal atau tidak? Dan
persilihan dalam masalah ini
masihlah diterima. Karenanya,
banyak lembaga fikih yang
berbeda dalam menjelaskan
masalah ini.
Hukum Puasa Ramadhan
Wajib bagi setiap muslim yang
telah baligh, berakal, mukim dan
sehat untuk melaksanakan puasa
Ramadhan. Dan haram berpuasa
bagi wanita haid dan nifas, serta
makruh bagi musafir apabila
dengan berpuasa akan
membuatnya lemah. Dan
dianjurkan untuk anak-anak.
Adapun penentuan awal baligh
dapat dilakukan dengan salah satu
dari tiga cara: Usianya telah genap
15 tahun, bulu kemaluannya telah
tumbuh dan telah keluar air manni
karena syahwat. Ditambah satu
lagi sehingga menjadi empat untuk
wanita, yaitu haid. Apabila seorang
wanita telah haid, maka ia telah
baligh meskipun umurnya baru
sepuluh tahun.
Puasa dan Akal
Tidaklah diwajibkan puasa bagi
orang gila, karena khitab (beban)
syari'at ditujukan untuk orang-
orang berakal. Apabila gilanya
terkadang hilang, maka ia wajib
puasa ketika akalnya kembali saja.
Adapun bagi orang sakit hingga
koma, atau koma secara terus-
terusan, atau karena pingsan
dalam jangka yang lama seperti
orang yang sedang melakukan
operasi, maka jumhur ulama
mewajibkan mereka untuk
mengganti puasa yang telah
mereka tinggalkan dari bulan
Ramadhan. Akan tetapi, sebagian
ulama berpendapat bahwa mereka
tidak wajib untuk mengganti
puasanya, karena ketika itu (ketika
koma) mereka tidak mukallaf
(tidak dibebani syari'at). Syaikh
Qardhawi mengambil jalan tengah
dalam persoalan ini, ia berpendapat
bahwa orang yang koma
berkepanjangan maka tidak ada
taklif baginya. Adapun bila
komanya hanya sebentar yang
tidak lebih dari dua hari maka ia
tetap mukallaf.
Adapun bagi orang yang sudah
jumpo sehingga kembali seperti
anak kecil kembali, maka baginya
tidak wajib puasa dan bagi
keluarganya sesuatu (membayar
fidyah) karena gugurnya
kewajiban tersebut. Apabila
terkadang ia sadar (tidak seperti
anak-anak) maka wajib baginya
puasa dan ketika kembali seperti
anak-anak, tidak wajib baginya
puasa.
Haid dan Nifas
Para ulama sepakat akan tidak
wajibnya bagi keduanya berpuasa,
bila keduanya berpuasa justru
berdosa. Ketika telah suci,
keduanya untuk
mengqodho' (mengganti) puasa
Ramadhan yang telah ditinggalkan.
Adapun shalat, maka tidak wajib
baginya untuk mengqodho'nya.
Apabila keduanya suci di
pertengahan hari di bulan
Ramadhan, hendaknya keduanya
menahan (dari makan dan minum)
ketika telah suci untuk
menghormati bulan Ramadhan.
Ada ulama yang bependapat
keduanya harus berpuasa ketika
telah suci. Dari kedua pendapat itu,
semuanya mewajibkan untuk
mengqodho hari tersebut.
Pil Untuk Mengakhirkan Haid
Menerima taqdir adalah lebih
utama, bagi yang menggunakan pil
untuk mengakhirkan haid supaya
bisa berpuasa tidaklah mengapa,
dengan syarat hal itu tidak
membahayakan dirinya.
Haid adalah darah hitam, biasanya
kental dan bau. Adapun selainnya
yang berwarna kecoklatan atau
kekuningan atau yang lainnya
maka itu bukan haid, baik darah itu
keluar sebelum haid ataupun
sesudahnya. Ini adalah pendapat
yang benar. Dalam masalah ini,
banyak terjadi perbedaan
pendapat. Sedangkan pendarahan,
hal itu tidak menghalangi untuk
berpuasa dan ia tidak termasuk
dalam hukum haid.
Adapun nifas, bila darah telah
berhenti dan tidak kembali lagi
setelahnya maka ia telah suci
meskipun ia baru saja melahirkan.
Akan tetapi, bila darah belum
berhenti maka waktu paling lama
nifas adalah 40 hari. Apabila
setelah 40 hari, maka itu tidak
disebut dengan nifas.
Puasa dan Safar (Berpergian)
Para ulama telah sepakat bahwa
bagi musafir diperbolehkan untuk
berbuka, bahkan Syaikhul Islam
menyebutkan, barangsiapa yang
mengingkari hal itu maka ia harus
dimintai taubat, jika tidak maka
hukum baginya adalah murtad. Hal
itu karena ia sudah merupakan
hukum yang maklum dalam
agama. Karenanya, sebagian
sahabat mewajibkan berbuka bagi
musafir. Hanya saja, jumhur
berpendapat bahwa hukumnya
boleh, tidak wajib bagi musafir.
Musafir boleh berbuka disebabkan
karena kecapean atau karena
memberatkan ataupun tidak.
Sudah masyhur di kalangan fikih
madzhab bahwa jarak
diperbolehkannya berbuka bagi
musafir adalah sekitar 80 - 90 Km,
akan tetapi Ibnul Qoyyim
menjelaskan bahwa pembatasan
ini tidak ada dasarnya. Setiap apa
yang bisa disebut bersafar
berdasarkan kebiasaan maka ia
diperbolehkan untuk berbuka
meskipun jaraknya pendek,
sebagaimana diriwayatkan secara
shahih bahwa Dahyah Al-Kalby,
salah seorang sahabat, berbuka
puasa ketika berpergian tiga mil,
yaitu sekitar 9 Km.
Berbuka puasa diperbolehkan bagi
musafir meskipun tidak
memberatkannya, karenanya
diperbolehkan bagi yang
berpergian dengan pesawat untuk
berbuka. Para ulama berbeda
pendapat mana di antara
keduanya yang lebih utama bagi
musafir, tetap berpuasa atau
berbuka? Dan semoga pendapat
yang saya ambil benar, bahwa
yang lebih utama adalah yang
meringankannya di antara
keduanya, sebagaimana pendapat
ini juga yang dipilih oleh Syaikh
Qardhawi.
Banyak di antara pengikut
madzhab fikih yang memberi
syarat, bahwa seorang musafir
tidak boleh berbuka kecuali setelah
ia berpergian dari tempatnya. Tapi
yang benar, bahwa hal itu bukan
menjadi syarat. Anas bin Malk telah
berbuka sebelum ia menaiki
kendaraannya, tapi baru
mengenakan baju berpergian.
Pendapat inilah yang diikuti oleh
Ibnul Qayim.
Para ulama berselisih pendapat
akan bolehnya berbuka pada hari
yang sudah diketahui bahwa ia
akan sampai ke negaranya atau
tempatnya sebelum tenggelamnya
matahari. Jumhur ulama, di
antaraya Imam Abu Hanifah, Malik
dan Syafi'i rahimahumullah,
berpendapat akan bolehnya
berbuka baginya. Sementara
Imam Ahmad rahimahullah
berpendapat bahwa ia harus
berpuasa. Syaikh Utsaimin berkata,
"Yang benar bahwa ia tidak harus
berpuasa."
Bila musafir kembali ke negaranya
di siang hari sedang ia telah
berbuka maka ia harus berpuasa di
waktu setelah kembalinya, dan ia
tetap harus mengqodho'nya, baik
ia berpuasa atau tidak ketika itu.
Dalam hal ini terjadi perbedaan
pendapat.
Di sini ada dua kondisi yang oleh
para pengikut madzhab fikih tidak
boleh berbuka, yaitu:
Pertama: Barangsiapa yang
memulai berpergiannya di tengah
hari sementara ia dalam keadaan
puasa, maka ia tidak diperbolehkan
berbuka.
Kedua: Orang yang bersafar dan ia
telah meniatkan puasa sebelum
fajar maka tidak boleh baginya
untuk membatalkan niatnya lalu
berbuka, meskipun ia masih
bersafar.
Akan tetapi, pendapat yang benar
bahwa seorang musafir boleh
berbuka dalam dua kondisi
tersebut.
Diperbolehkan berbuka bagi
musafir, bahkan bagi orang yang
telah mempunyai kebiasaan
berpergian keluar kota, seperti
sopir, pilot, masinis dan lainnya,
mereka diperbolehkan berbuka
meskipun berpergiannya hanya
sehari. Dan baginya kewajiban
untuk mengqodho'.
Puasa dan Perbedaan Waktu
Untuk wilayah-wilayah yang
berbeda waktu malam dan
siangnya, lembaga fikih Islam di
bawah Rabithah Al-'Alam Al-Islami
menjelaskan tentang kondisi
mereka. Dalam penjelasan ini, ada
tiga hal mendasar yaitu:
Pertama: Wilayah yang waktunya
berjalan 24 jam atau lebih, sesuai
dengan perbedaan musim. Pada
kondisi ini, penentuan waktu shalat
dan puasa mengikuti wilayah
terdekat yang waktu malam dan
siangnya 24 jam juga.
Kedua: Wilayah yang tidak melihat
senja hingga terbitnya matahari,
tidak bisa dibedakan antara
terbitnya matahari dan
tenggelamnya. Pada kondisi seperti
ini maka puasa dimulai ketika tiba
waktu shalat fajar.
Ketiga: Wilayah yang dapat
melihat malam dan siang selama
24 jam dan bisa membedakan
waktu. Hanya saja, pada musim
tertentu malamnya lebih panjang
dan terkadang siangnya lebih
panjang pada musim yang lain.
Barangsiapa yang tinggal di
wilayah yang dapat membedakan
antara malam dan siang dengan
terbitnya fajar dan tenggelamnya
matahari, hanya saja siangnya
lebih panjang ketika di musim
panas dan pendek di musim dingin,
maka wajib bagi mereka untuk
berpuasa setiap hari dari mulai
terbitnya fajar hingga
tenggelamnya matahari di wilayah
mereka masing-masing. Dan
dihalalkan bagi mereka untuk
makan, minum, jima' dan
semisalnya pada malam mereka
saja, meskipun malamnya pendek.
Bagi yang tidak mampu
menyempurnakan puasa karena
panjangnya siang, sakit, khawatir
sakitnya bertambah parah bila
berpuasa di siang yang panjang
dan sebagainya, maka ia
mengqodho' hari-hari yang ia
berbuka pada bulan lainnya yang
mem.ungkinkan ia untuk
menggantinya.
Barangsiapa yang menjumpai hari
raya 'Id di negaranya, lalu ia
bersafar ke negara lain dan ia
mendapati mereka masih berpuasa
karena panjangnya bulan
Ramadhan di negara mereka,
maka tidak wajib baginya untuk
berpuasa seperi mereka. Begitu
pula orang yang bersafar setelah
tenggelamnya matahari, tapi di
negara tempat ia bersafar, ia masih
mendapati matahari terang
benderang, belum tenggelam,
maka tidak wajib baginya untuk
berpuasa lagi.
Barangsiapa yang memulai puasa
Ramadhan di negara tertentu,
kemudian ia bersafar ke negara
lain dan mendapati sudah hari raya
yang berarti jumlah waktu
puasanya di kedua negara kurang
dari 29 hari, maka hendaknya ia
ikut berbuka bersama kaum
muslimin pada hari raya. Kemudian
setelah hari raya, ia harus
menyempurnakan puasa yang
telah ia lewatkan hingga puasanya
berjumlah 29 hari, karena bulan
Ramadhan tidak kurang dari 29
hari.
Barangsiapa yang telah berpuasa
tiga puluh hari di negaranya,
kemudian ia bersafar pada hari ke
tiga puluh ke negara lain, maka ia
wajib berpuasa sebagaimana
mereka berpuasa di negara
mereka dan tidak boleh
merayakan hari raya kecuali
bersama mereka meskipun kalau
ia melakukan hal itu puasana lebih
dari 30 hari. Begitu pula orang yang
bersafar dari negaranya sesaat
sebelum tenggelamnya matahari,
lalu ketika ia sampai di negara
tempat ia bersafar ternyata masih
pertengahan hari, maka
hendaknya ia tidak berbuka
kecuali bersama mereka. Bila ia
hendak berbuka karena adanya
rukshoh (keringanan) bagi orang
yang bersafar maka
diperbolehkan, tapi ia harus
mengqodhonya di hari yang lain.
Biasanya, apabila bersafar di siang
hari ke arah timur maka siangnya
akan lebih pendek. Dan bila ia
bersafar ke arah barat maka
siangnya lebih panjang. Kaedah
dalam hal itu, bahwa ketika
penumpang pesawat terbang
mengetahui terbitnya fajar dari
langit di negara ia berada, maka ia
wajib untuk memulai berpuasa.
Kemudian ia baru boleh berbuka
bila matahari telah tenggelam,
meskipun jumlah waktu puasanya
pada hari itu kurang dari lima jam,
atau meski puasanya lebih dari 20
jam. Maka yang menjadi tolak ukur
adalah negara tempat ia berada
dan batasan udara negara, bukan
bumi.
Apabila matahari telah tenggelam
di negara tempat ia bersafar,
hanya saja ia masih melihat
matahari karena tingginya
pesawat terbang maka hendaknya
ia tidak berbuka hingga matahari
tidak terlihat oleh matanya,
sebagaimana yang difatwakan
oleh mufti Saudi.
Puasa dan Orang Sakit
Apabila dengan puasa sakitnya
bertambah, atau memperlama
sembuhnya, atau memberatkan
orang yang sakit, maka ia
mendapat rukhshoh (keringanan)
untuk berbuka dan hendaknya ia
mengganti puasanya di hari yang
lain. Untuk hal ini orang yang sakit
cukup dengan memperkirakannya.
Perkiraannya dapat dilakukan
dengan dua cara:
Pertama: Mencoba sendiri atau
berdasarkan orang yang pernah
sakit dengan penyakit yang sama.
Kedua: Berdasarkan anjuran dari
dokter muslim yang dipercaya.
Syaikh Utsaimin membolehkan
mengacu pada anjuran dari dokter
non-muslim bila sudah dikenal jujur.
Hal ini banyak dialami umat Islam
di Barat.
Apabila ia tetap berpuasa, maka
dimakruhkan berpuasa bila
sakitnya bertambah keras dan
diharamkan bila dengan puasa
sakitnya dapat
membahayakannya.
Barangsiapa yang sakit hendaknya
ia meniatkan berbuka sedari
malam, karena pada dasarnya ia
adalah sakit.
Apabila ia telah mengetahui atau
mengetahui dari dokter bahwa
puasa dapat menyebabkan ia
pingsan, maka ia harus
mengqodho' sebagaimana yang
ditetapkan oleh Syaikhul Islam.
Barangsiapa yang pingsan di
tengah hari, kemudian ia sadar
sebelum tenggelamnya matahari
atau setelahnya maka puasanya
sah selama ia tetap puasa. Dan
apabila ia pingsan sejak fajar
hingga tenggelamnya matahari,
maka jumhur ulama berpendapat
bahwa puasanya tidak sah.
(Ringkasan ini ditulis oleh Syaikh
Hamid Al-'Athor. Tulisan diterjemah
dari situs www.islamonline.net oleh
team redaksi www.alislamu.com)

Kembali
Comments:
[2011-08-13 17:52] Nchim:

Alhamduliiiah bagi para pembaca semoga mendapat rahmat dan hidayah dari ALLAH SWT.amiin...


Kritik & Saran