Berbuka Karena Sedang Menjalani
Pengobatan.
Lembaga fikih Islam internasional
memutuskan bahwa hal-hal berikut
bukan termasuk pembatal puasa:
1. Memasukkan air ke mata, ke
telinga atau mencuci telinga dan
berkumur-kumur selama tidak
ditelan melalui kerongkongan.
2. Meletakkan sesuatu di bawah
lidah untuk terapi atau yang
lainnya selama itu tidak melewati
kerongkongan, bila hendak masuk
ke kerongkongan hendaknya
diludahkan.
3. Sesuatu yang masuk ke vagina,
mencucinya atau jari yang
dimasukkan oleh dokter untuk
memeriksa kehamilan.
4. Alat-alat medis yang
dimasukkan ke dalam rahim.
5. Sesuatu yang masuk ke uretra,
uretra laki-laki maupun
perempuan, baik tabung, teleskop,
suntikan, obat atau yang lainnya.
6. Menambal gigi, mencabut gigi,
membersihkan gigi, bersiwak atau
sikat gigi, jika ia tidak menelan
sesuatu pun melalui
kerongkongannya. Bila ada sesuatu
yang ingin tertelan, hendaknya ia
meludahkannya.
7. Berkumur-kumur dan mencuci
mulut selama tidak ada yang
masuk ke kerongkongan.
8. Suntik pengobatan, kecuali
suntikan yang mengenyangkan.
9. Menghirup oksigen.
10. Sesuatu yang masuk melalui
kulit, seperti krim, salep, ataupun
obat-obatan lainnya.
11. Memasukkan alat-alat medis
melalui dinding perut untuk
memeriksa usus atau operasi.
12. Mengambil sampel dari jantung
atau anggota tubuh lainnya selama
tidak membahayakan dan dapat
memberikan solusi.
13. Memasukkan sesuatu atau
sarana-sarana pengobatan ke otak
atau sum-sum belakang.
14. Mutah tanpa disengaja.
15. Donor darah, baik ia yang
mendonorkan atau ia yang
menerima donor darah.
16. Operasi, selama pasien
meniatkan puasa di malam
harinya.
Diwasiatkan kepada para dokter
muslim untuk menasihati
pasiennya guna menunda
pengobatan-pengobatan yang
telah disebutkan di atas bila tidak
membahayakannya hingga
setelah berbuka.
Hubungan Suami Istri di Bulan
Ramadhan
Seorang yang berpuasa
diperbolehkan untuk mecium
istrinya dan memeluknya. Akan
tetapi ia harus memperhatikan hal-
hal berikut:
1. Mengisap air liur (bermain air
ludah suami istri). Hal ini dapat
membatalkan puasa dan wajib
mengqodho' bagi pelakunya.
2. Hati-hati jangan sampai keluar
air mani disebabkan bercumbu
antara suami istri karena itu dapat
merusak puasa berdasarkan
pendapat mayoritas ulama fikih,
meskipun ada di antara mereka
yang tidak sependapat.
3. Menahan syahwatnya untuk
tidak melakukan senggama
(bersetubuh), karena bersetubuh
bagi orang berpuasa di bulan
Ramadhan adalah maksiat besar
dan wajib atasnya qadha' dan
membayar kaffarah. Maka bagi
yang tidak dapat menahan
nafsunya hendaknya menjauhi
untuk mencium istrinya atau yang
semisalnya. Adapun bagi yang
mampu mengendalikan dirinya,
maka ia boleh melakukan hal itu.
Perkara Pembatal Puasa
Perkara yang membatalkan puasa
dan berdosa bagi pelakunya serta
wajib membayar qodho' dan
kaffarah adalah jima' (bersetubuh),
tidak ada yang lain. Bagi seorang
istri kaffarah seperti kaffarah bagi
suaminya. Sebagian ulama
berpendapat tidak wajib kaffarah
bagi seorang istri, namun jumhur
berpendapat baginya kaffarah,
yaitu memerdekan seorang budak.
Bila tidak mampu, maka ia harus
puasa 60 hari. Bila tidak mampu
juga ia harus memberi makan 60
orang miskin. Sebagian ulama,
diantaranya Ibnu Hazm
berpendapat bahwa ia hanya wajib
membayar kaffarah, tidak dengan
qadho'. Dan ini adalah pendapat
yang rojih.
Adapun perkara yang
membatalkan puasa dan wajib
baginya membayar qadho' saja,
dan tidak berdosa bagi pelakunya
serta tidak wajib membayar
kaffarah adalah haid dan nifas,
meski waktu datang haid dan
nisfasnya sesaat sebelum
tenggelamnya matahari.
Sedangkan perkara yang
membatalkan puasa dan wajib
baginya qadho serta berdosa bagi
pelakunya, namun tidak wajib
membayar kaffarah adalah makan
dan minum, merokok,
mengeluarkan air mani secara
langsung ataupun dengan onani di
siang hari.
Dan perkara yang membatalkan
puasa dan hanya wajib baginya
qadho' tanpa berdosa dan tanpa
membayar kaffarah adalah
memakan obat melalui mulut
dengan meminumnya,
mengemutnya atau menelannya.
Perkara yang Tidak Membatalkan
Puasa
Perkara-perkara yang tidak
membatalkan puasa sangatlah
banyak, sulit untuk dihitung. Yang
mungkin dihitung adalah
pembatalnya. Perkara yang
membatalkan puasa adalah makan
dan minum serta semisalnya, obat
yang dikonsumsi melalui mulut dan
jima' (bersetubuh). Sebagian ulama
ada yang menambahkan perkara
pembatal puasa, sebagaimana
telah disebutkan di atas.
Adapun perkara yang tidak
membatalkan puasa sangat
banyak. Al-'Alamah Ibnu Hazm
dalam kitabnya Al-Muhalla
300/6301 berkata, "Berbekam
tidak membatalkan puasa, tidak
juga mimpi, mutah tanpa disengaja,
sesuatu yang keluar dari
kerongkongan tanpa disengaja,
darah yang keluar gigi ataupun
gusi selama tidak disengaja, suntik,
air yang masuk ke telinga,
berkumur-kumur dan masuk ke
kerongkongan tanpa disengaja
ataupun minyak wangi dan lalat
yang masuk ke kerongkongannya
dengan tanpa disengaja, bersiwak
baik basah ataupun kering,
mencicipi makanannya selama
tidak sengaja menelannya, obat-
obatan, makanan yang menyelip
di sela-sela gigi. Hal tersebut tidak
membatalkan puasa meskipun
dilakukan di siang hari. "
Tidak membatalkan puasa dengan
menelan air liur meskipun banyak
dan meski dilakukan dengan
sengaja. Sebagaimana dirajihkan
oleh Imam Malik dan Syaikh
Utsaimin. Akan tetapi diharamkan
menelan air liur bila
membahayakannya atau jijik. Dan
kami berpendapat bahwa landasan
dalam hal itu adalah kedokteran,
bila diharamkan menelannya
karena bahaya maka itu haram
atau dimakruhkan, sesuai dengan
tingkat bahayanya.
Bila ada sesuatu yang menyelip di
gigi lalu ia tertelan tanpa disengaja
dan sulit untuk mendeteksinya
maka kedudukannya ia seperti air
liur, dan tidak membatalkan puasa.
Bila sesuatu itu banyak dan
mungkin untuk dilepehkan
(diludahkan) maka
melepehkannya tidak mengapa
dan jika menelannya dengan
sengaja maka dapat merusak
puasanya.
Dalam fatwa Darul Ifta' Saudi
dijelaskan, "Bila terjadi luka di
gusinya dan berdarah karena
bersikat gigi maka tidak boleh
menelan darahnya dan ia harus
mengeluarkannya. Bila ada yang
masuk melalui kerongkongannya
tanpa disengaja maka tidak
mengapa. Begitu pula menghirup
air, seperti pekerja yang menghirup
air untuk memancing aliran air,
maka tidak membatalkan puasa."
Bila orang berpuasa dalam
keadaan junub dan mengakhirkan
mandinya hingga pagi hari maka
hal itu tidak membatalkan
puasanya, akan tetapi hendaknya
ia menyegerakan mandi supaya
dapat melaksanakan shalat
shubuh. Dan apabila orang
berpuasa bermimpi dan junub
maka tidak batal puasanya
berdasarkan kesepakatan ulama.
Lupa dan Salah Ketika Puasa
Barangsiapa makan dan minum
karena lupa maka berarti Allah
telah memberinya makan dan
minum dan tidak ada dosa
baginya, serta tidak wajib
membayar qodho' dan kaffarah,
baik puasa sunnah atau wajib.
Barangsiapa yang mengira
matahari telah tenggelam lalu ia
berbuka dan ternyata ia salah,
maka jumhur ulama berpendapat
bahwa ia harus mengqodho'nya.
Namun yang rajih, ia tidak wajib
mengqodho'nya. Sebagaimana
pendapat yang rajih pula, orang
yang bersahur sementara ia
mengira belum terbit fajar dan
ternyata dia salah, maka ia juga
tidak wajib qadho' meskipun
jumhur ulama mewajibkan untuk
mengqodho' dalam dua kondisi
tersebut. Dan tidak ada bedanya
antara makan karena lupa dengan
jima' (bersetubuh) karena lupa.
Seorang muslim hendaknya makan
hingga yakin akan waktu fajar. Bila
ia ragu, apakah sudah terbit fajar
atau belum maka ia boleh makan
hingga ia yakin. Telah diriwayatkan
oleh Abdur Razzaq dengan sanad
yang shahih, dari Ibnu Abbas
berkata, "Allah telah menghalalkan
bagimu makan dan minum selama
engkau ragu." Itu adalah
madzhabnya jumhur dan
hujjahnya Syikhul Islam dan
dikuatkan oleh atsar shahabat.
Barangsiapa yang melakukan hal-
hal yang merusak puasa karena
bodoh (tidak mengetahuinya)
maka tidak merusak puasanya bila
dilakukan oleh orang yang baru
masuk Islam, namun tidak berlaku
untuk selainnya.
Darah dari gusi tidak membatalkan
orang yang berpuasa selama tidak
dengan sengaja menelannya.
Maksiat dan Puasa
Puasa tanpa shalat adalah
kebaikan yang beriringan dengan
dosa besar, dan kejelekan tidak
akan menghapus kebaikan.
Adapun bagi orang yang
berpendapat bahwa orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir,
maka orang yang meninggalkan
shalat tidak diberi pahala,
meskipun ia berpuasa karena ia
akan menghadap Allah dalam
keadaan kafir.
Sebagian salaf berpendapat bahwa
maksiat lisan seperti ghibah,
maksiat telinga seperti mendengar
ghibah, maksiat mata seperti
melihat hal-hal yang diharamkan
dan maksiat tangan dan kaki,
semuai itu termasuk perusak
puasa. Namun jumhur berpendapat
bahwa hal itu tidak membatalkan
puasa, hanya saja mereka sepakat
bahwa kemaksiatan dapat
menghapus pahala puasa. Cukup
untuk memotivasi sabda Rasulullah
saw, "Barangsiapa yang tidak
meninggalkan perkataan dusta dan
beramal dengannya, maka Alalh
tidak butuh untuk ia meninggalkan
makanan dan minumannya,"
hadits diriwayatkan oleh Bukhari
dari Abu Hurairah.
Puasa dan Niat
Niat adalah syarat dalam berpuasa.
Dalam puasa ada dua syarat, yaitu:
1. Berazzam dalam hati untuk
berpuasa, yaitu niat untuk
beribadah.
2. Ikhlash
Keduanya harus ada pada orang
yang berpuasa, bila yang pertama
tidak terpenuhi maka tidak ada
puasa baginya. Begitu pula bila
syarat kedua tidak terpenuhi maka
baginya tidak ada pahala
meskipun syarat yang pertama
telah terpenuhi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
merajihkan pendapat bahwa orang
belum yakin apakah hari esok
sudah memasuki Ramadhan atau
belum? seperti orang yang tidur
sebelum terlihatnya hilal, maka ia
cukup meniatkan bahwa dirinya
ingin berpuasa besok bila sudah
memasuki Ramadhan, dan jika
belum memasuki Ramadhan maka
ia berbuka.
Dan menyiapkan sahur adalah
bagian dari niat, dan malafalkan
niat tidaklah dianjurkan.
Niat sebelum fajar adalah
diharuskan, terutama dalam puasa
Ramadhan, nadzar, kaffarat,
qadho' puasa ramadhan dan
semua puasa yang hukumnya
wajib dan tidak sah niat dilakukan
setelah fajar pada puasa-puasa
tersebut.
Niat dalam puasa sunnah lebih
fleksibel dari pada puasa wajib.
Seseorang boleh meniatkan puasa
sunnah ketika dzhuhur atau di
pertengahan hari, hanya saja
waktu sebelum niat tidak
mendapatkan pahala. Adapuan
orang yang berkata, "Saya akan
berpuasa bila di rumahku tidak ada
makanan" maka hal itu
diperbolehkan sebagaimana
pendapat ini dipegangi oleh
sebagian pengikut Syafi'i.
Para ulama berbeda pendapat,
apakah menolak berniat puasa
dapat membatalkan puasa atau
tidak? Ada yang berpendapat
bahwa menolak niat bukan dari
pembatal puasa, tapi ini adalah
salah karena hal itu merupakan
bagian dari pembatal dan perusak
puasa.
Adapun dari sisi pahala, ada sebuah
hadits yang menjelaskan bahwa,
"Setiap orang tergantung pada
niatnya", dan ini tidak meniatkan
berpuasa, lalu bagaimana akan
diberi pahala?
Dan mengumpulkan antara dua
niat puasa wajib, seperti niat puasa
qadho' dan niat puasa nadzar,
sebagian ulama berpendapat
bahwa puasanya batal dengan niat
tersebut.
Adapun mengumpulkan antara niat
puasa sunnah dan wajib, seperti
puasa qadha' Ramadhan dengan
niat puasa Syawal, masih
diperselisihkan oleh para ulama.
Namun sebaiknya hal itu
ditinggalkan.
(Ringkasan ini ditulis oleh Syaikh
Hamid Al-'Athor. Tulisan
diterjemahkan dari situs
www.islamonline.net oleh team
redaksi www.alislamu.com)